Liputan6.com, Jakarta - Batik adalah salah satu warisan budaya asli dari Indonesia. Bagi Mak Iyah dan Mak Enthis, pembatik tua asal Pekalongan, batik ibarat jiwa hingga mereka tidak pernah bosan membatik.
Mak Iyah yang usianya sudah menginjak 58 tahun masih tekun melukis batik loreng di atas kain putih tanpa pola. Sedangkan Mak Enthis, pembatik berusia 55 tahun, tampak sedang melingkari pola yang sudah digambarnya dengan pensil.
Motif yang dibuat seringkali seringkali disesuaikan dengan perasaan mereka saat ini, bukan hanya menyontek pola yang ada. Mereka terus membatik walau penglihatannya harus dibantu kacamata.
Menekuni profesi sebagai pembatik di negeri ini ternyata tak mudah. Meski banyak diminati pasar, bukan berarti penghasilan mereka menjanjikan. Bahkan, hasilnya seringkali jauh lebih besar daripada berladang.
Keduanya juga menerima tawaran batik borongan. Jika mengerjakan batik borongan, satuan batiknya bisa diberikan harga sebesar Rp500 ribu sampai Rp1 juta. Itu pun jarang.
Tetapi, penghasilan mereka sedikit lebih tinggi bila bekerja di studio. Menurut pengakuan Mak Enthis dan Mak Iyah, ia dibayar Rp50 ribu per hari untuk pengerjaan batik tulis sepanjang 3x1,5 meter persegi. Bila rata-rata kain tersebut dikerjakan dua sampai tiga minggu, mereka hanya mendapatkan penghasilan antara Rp700 ribu hingga Rp1,050 juta dari satu kain yang dibuat.
"Kalau meladang, sehari bisa dapat Rp100 ribu. Tapi meladang juga nggak setiap hari ada pekerjaan. Makanya kami masih membatik, biar punya uang," kata Mak Enthis kepada Liputan6.com, Kamis, 3 Oktober 2019.
Walaupun orientasi masih tetap bermuara pada uang, tapi hasil batiknya pun tidak pernah main-main. Imang Jasmine yang menjadi distributor dari hasil batik ibu-ibu di Pekalongan ini, menjual batiknya dengan harga ratusan ribu hingga puluhan juta rupiah.
* Dapatkan pulsa gratis senilai Rp 5 juta dengan download aplikasi terbaru Liputan6.com di tautan ini.
Mencari Penerus
Sejak kedua putrinya meninggal, Mak Enthis tidak punya keturunan untuk meneruskan keterampilan membatiknya. Anak lelaki satu-satunya yang masih hidup lebih fokus mengurus keluarganya sendiri.
Ia pun sempat berpikir untuk meladang saja lantaran penghasilan meladang jauh lebih besar dibandingkan membatik. Tapi lagi-lagi, batik sudah menjadi jiwanya. Ia tak bisa meninggalkan sehari pun tanpa membatik. "Nggak tahu kenapa, kalau nggak membatik saya malah bingung," ujar Mak Enthis.
Berbeda dengan Mak Enthis, Mak Iyah justru punya banyak keturunan untuk meneruskan keterampilan membatik yang dikuasainya. Ia ingin mengajari warisan budaya itu kepada seluruh cucunya selagi masih memiliki waktu.
"Pelajaran membatik yang asli tidak ada di sekolah, semuanya dipelajari dari kehidupan dan pengalaman. Makanya saya ajarkan cucu-cucu saya, supaya mereka tahu kalau batik itu dibuat dengan hati," kata Mak Iyah dengan logat Jawa Pekalongan yang kental. (Ossid Duha Jussas Salma)
No comments:
Post a Comment