Liputan6.com, Jakarta - Nahdlatul Ulama (NU) mengawali kelahirannya dari rasa kesadaran masyarakat kala itu yang dikekang oleh tradisi dan penjajahan. Didasari hal tersebut, sejumlah kaum terpelajar mulai membentuk kelompok perjuangan dengan nama Kebangkitan Nasional.
Organisasi tersebut dikukuhkan pada 1908 melalui jalan pendidikan dan organisasi masyarakat. Kemunculan ini juga menjadi pencetus atas beberapa pembentukan organisasi pembebasan baru yang dibuat rakyat pribumi.
Antara lain Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air) yang terbentuk pertama kali pada 1916. Kemudian disusul Nahdlatul Fikri (Kebangkitan Pemikiran) yang mewadahi pendidikan sosial politik kaum santri, serta Nahdlatul Tujjar (pergerakan kaum saudagar).
Dari kemunculan berbagai organisasi, para ulama kala itu merasa perlu membentuk organisasi yang lebih sisistematis guna mengantisipasi perkembangan zaman. Maka dengan koordinasi sejumlah kiai, NU resmi dibentuk berdasarkan kesepakatan para ulama pesantren pada 31 Januari 1926.
Paradigma para ulama yang membentuk NU guna mengikuti perkembangan zaman bukanlah salah satu faktor. Pembaharuan pemikiran Islam yang merujuk pada ajaran islam 'murni' juga menjadi indikator.
Ajaran tersebut megimbau umat Islam melepaskan diri dari sistem bermadzhab. Bagi para kiai pesantren, ini merupakan ilham baru yang diterima, namun tetap tidak meninggalkan tradisi keilmuan para ulama terdahulu.
Hasilnya, NU mengukuhkan prinsip dasar organisasi dengan membuat kitab Qanun Asasi dan kitab I'tiqad Ahlussunnah Wal Jamaah. Keduanya kemudian menjadi dasar warga NU dalam berpikir dan bertindak dalam bidang sosial, keagamaan, dan politik.
Ikut Berpolitik
Hingga kini, kehadiran NU berperan penting dalam berbagai bidang di pemerintahan. Peranannya juga tak luput dari hiruk-pikuk politik Indonesia. Menjelang Pemilu 2019, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Said Aqil Siradj, mengatakan NU harus memegang peranan penting, khususnya di bidang keagamaan.
"Peran agama harus kita pegang. Misalnya, imam masjid, khatib, Kantor Urusan Agama harus dari NU. Kalau dipegang selain NU, salah semua," ucap Said Aqil di acara Harlah ke-73 Musllimat NU di Gelora Bung Karno, Jakarta, Minggu (27/1/2019).
Pernyataan tersebut bukan sekadar tong kosong belaka. Dalam kesempatan yang sama, Ketua Umum PP Muslimat NU Khofifah Indar Parawansa juga melakukan aksi politik di hadapan warga NU yang menghadiri acara.
Mantan Menteri Sosial itu mendeklarasikan bahwa muslimat NU merupakan kelompok antiberita bohong (hoaks), fitnah, dan ghibah. Menurutnya, Muslimat NU akan menjadi generasi Islam yang mengajak seluruh anak bangsa untuk berpikir positif.
"Hoaks no, fitnah no, gibah no. Itu yang ingin kita deklarasikan. Jangan lakukan ujaran kebencian, jangan sebarkan hoaks," kata Khofifah di lokasi.
Cawapres nomor urut 02 Sandiaga Uno bahkan menjanjikan akan menarik kader NU menjadi menteri agama jika dirinya terpilih di Pilpres 2019. Menurutnya, pertimbangan tersebut berdasarkan dari aspirasi masyarakat, khususnya muslimat NU.
"Masyarakat NU mengharapkan Menteri Agama dari NU yang akan mengisi, dan saya sudah menyampaikan bahwa kami berkomitmen putra-putra terbaik seandainya itu dari NU akan diberi kesempatan untuk memimpin Kementerian Agama," kata Sandi di Taman Ismail Marzuki, Cikini, Jakarta Pusat, Minggu (27/1/2019).
Rifqi Aufal Sutisna
No comments:
Post a Comment